Minggu, 01 Juli 2012

Kebebasan Akademik, Kebebasan Yang Mencekik


Published Monday, June 4, 2012 By Admin. Under Berita    


Tulisan seorang Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto yang berjudul ”Kebebasan Akademik Itu…” (Kompas, 5/5) perlu dicermati. Pada saat ini jarang kita temui pendapat yang ideal, bernas, dan penuh pengayaan untuk masyarakat, khususnya masyarakat akademik.

Berdasarkan kutipan beliau, otonomi universitas dirasa mampu menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah untuk setiap[ pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian, dapat melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat dengan dasar saling menghormati serta memberdayakan antara para ilmuwan.

Seandainya universitas menjadi bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan tentu saja kalah bersaing dengan universitas di negara lain.


Perguruan tinggi negeri (PTN) tertentu yang merupakan centre of excellence di Indonesia sebenarnya pernah diberikan kebebasan akademik, walau masih terbatas. Namun kebebasan akademik yang diberikan kepada PTN tersebut, seperti: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada. PTN-PTN ini langsung terasa sangat ”lapar”. Kebebasan akademik yang diberikan oleh pemerintah itu telah disalahartikan dan tafsirkan lain oleh pengelolanya.

Bukan hanya kebebasan akademik saja yang dilaksanakan, namun kebebasan yang terasa mencekik masyarakat juga diperlihatkan secara terang-terangan. Biaya kuliah yang ditetapkan, terutama pada program studi favorit, terbilang cukup tinggi.

Panitia penerimaan mahasiswa baru PTN-PTN besar ini road show ke sejumlah provinsi. Di setiap provinsi, telah ada kesepakatan dengan pejabat pemerintah daerah setempat melalui cara win-win solution. Anak di daerah atau lebih dikenal dengan putra daerah direkrut dengan alasan PTN besar ini melakukan sistem penerimaan yang merata sampai ke daerah. Dengan biaya yang terbilang tinggi, putra daerah tersebut diberi beasiswa dari pemda yang dibebankan dari APBD. Sehingga perlu ditelusuri, siapa saja putra-putra daerah penerima beasiswa itu.

Di samping itu, dengan biaya yang sangat tinggi semakin membuat mahasiswa dari golongan ekonomi lemah masuk ke PTN-PTN besar. Oleh karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan, yang salah satu alasannya karena UU ini bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945, masyarakat dan mahasiswa sangat mendukung dan antusias yang tinggi.

”Hukum rimba”

Hanya yang kuatlah, yang akan menang! Inilah makna dari kalimat “survival of the fittest”, sebuah frase yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf Herbert Spencer setelah membaca karya monumental Charles Darwin, On the Origin of Species. Frase ini memiliki makna yang berkembang secara dinamis. Dalam masyarakat, frase ini sering direfleksikan: yang kaya memakan yang miskin, yang pandai mengelabui yang bodoh, yang kuat menginjak-injak yang lemah.

Frase survival of the fittest juga berlaku di dunia perguruan tinggi di Indonesia. PTN-PTN yang kuat berbeda dengan PTN lemah. Ilmuwan-ilmuwan dari PTN kuat penuh percaya diri. Sementara ilmuwan dari PTN lemah tampil penuh harap dan belas kasih dari ilmuwan-ilmuwan PTN-PTN kuat.

Jarak kualitas PTN kuat dan PTN lemah terasa sangat lebar. Ketika PTN-PTN kuat harus bekerja sama dengan PTN lemah, terdapat istilah: PTN kuat sedang membina PTN yang lemah. Sering istilah membina tersebut dipelesetkan menjadi membinasakan karena sering terjadi asas pemanfaatan: yang kuat memanfaatkan yang lemah.

Akibatnya, PTN lemah lebih nyaman bekerja sama dengan PTN asing. Hal ini dilakukan bukan karena ingin bergaya kebarat-baratan atau perkara mental inlander. Ini perkara keadilan. Tak ada satu pihak pun di dunia ini yang mau bekerja sama dengan pihak lain kalau duduk tidak sama rendah dan berdiri tidak sama tinggi. Apalagi sesama anak bangsa.

Sangat jarang kita temui ilmuwan-ilmuwan dari PTN kuat yang secara sadar dan ikhlas ikut memperjuangkan keadilan untuk PTN lemah. Padahal, bangsa ini tidak mungkin maju jika hanya PTN kuat saja yang berkembang serta diberi kepercayaan menghela atau menarik ”pedati” kualitas dan kebebasan akademik. Jika ingin maju dan berkembang kita harus berkerjasama.

Kesalahan yang dirasa selama ini, salah satunya adalah memberikan perhatian yang berlebihan kepada PTN-PTN kuat, sehingga perlu dikoreksi. Contoh kasus yang cukup memalukan menimpa bangsa kita dan telah disadarkan oleh Dirjen Dikti adalah jumlah publikasi ilmuwan PTN kita yang sangat sedikit dibandingkan jumlah publikasi ilmuwan Malaysia. Kalau boleh jujur, seharusnya ilmuwan dari PTN kuat yang paling bertanggung jawab terhadap kalahnya kita bersaing publikasi jurnal ilmiah internasional.

Dua catatan

Di akhir artikelnya yang penuh dengan idealisme, Prof Sulistyowati Irianto mengajak masyarakat dan negara untuk mendukung kebebasan akademik yang sedang diperjuangkan demi kejayaan Indonesia. Kita harus yakin, dukungan akan diperoleh dari masyarakat, negara, dan rekan-rekan ilmuwan dari PTN lemah, dengan mempertimbangkan dua catatan berikut.

Pertama, kesalahan yang pernah dibuat oleh PTN kuat, yaitu melakukan komersialisasi pendidikan yang terasa sangat nyata, tidak boleh terulang lagi. Ketika MK membatalkan UU BHP dengan alasan melanggar UUD 1945, sungguh alasan yang sangat menyakitkan. PTN-PTN kuat seakan telah lari dari masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Masyarakat, terutama yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi, seakan-akan telah ditinggalkan oleh PTN kuat.

Kedua, PTN di seluruh Indonesia harus diupayakan adil dan merata dari segi kualitasnya. Atau dalam bahasa Prof Sulistyowati, ”…melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.” Seharusnya PTN, seperti ITB, IPB, UI, dan UGM, hadir tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi kualitas mereka yang hebat harus hadir juga di daerah-daerah wilayah NKRI yang sangat luas dan majemuk ini.

Syamsul Rizal
Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar