Memanggang bayi? Membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Tetapi, itulah yang
dilakukan oleh warga Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan hanya bayi yang “dipanggang?, tetapi juga sang
ibu. Tradisi yang dipegang erat oleh warga setempat itu bernama panggang api.
Selama 40 hari berturut-turut setelah melahirkan, sang
ibu dan bayinya wajib melakoni tradisi panggang api. Mereka tidur di ranjang
yang bagian bawahnya dipasangi bara api. Persis dengan proses memanggang daging
atau makanan lain. Hal tersebut dilakukan selama dua sampai tiga jam. Warga
setempat yakin bahwa tradisi itu bakal membuat si bayi lebih kuat. Kepulan asap
yang ada membuat bayi dan ibu terus hangat.
Benarkah? Yang pasti, tradisi panggang api itu membuat
ibu dan bayinya “kepanasan”. Bukan bikin kuat, si bayi justru tidak bisa
beristirahat dengan tenang. Tak jarang bayi menangis karena kepulan asap yang
pekat. Hal itu juga membuat sang ibu kesulitan menenangkan bayinya.
Kuatnya tradisi panggang api itulah yang harus
dihadapi bidan Rosalinda Delin ketika kali pertama bertugas di Desa Jenilu pada
1999. “Awal saya berdinas, saya tidak mengira bahwa tradisi leluhur itu masih
ada,” kata Rosa saat mengikuti penjurian Srikandi Award di Jakarta (19/12).
Acara tersebut digagas Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Sari Husada.