Memanggang bayi? Membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Tetapi, itulah yang
dilakukan oleh warga Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan hanya bayi yang “dipanggang?, tetapi juga sang
ibu. Tradisi yang dipegang erat oleh warga setempat itu bernama panggang api.
Selama 40 hari berturut-turut setelah melahirkan, sang
ibu dan bayinya wajib melakoni tradisi panggang api. Mereka tidur di ranjang
yang bagian bawahnya dipasangi bara api. Persis dengan proses memanggang daging
atau makanan lain. Hal tersebut dilakukan selama dua sampai tiga jam. Warga
setempat yakin bahwa tradisi itu bakal membuat si bayi lebih kuat. Kepulan asap
yang ada membuat bayi dan ibu terus hangat.
Benarkah? Yang pasti, tradisi panggang api itu membuat
ibu dan bayinya “kepanasan”. Bukan bikin kuat, si bayi justru tidak bisa
beristirahat dengan tenang. Tak jarang bayi menangis karena kepulan asap yang
pekat. Hal itu juga membuat sang ibu kesulitan menenangkan bayinya.
Kuatnya tradisi panggang api itulah yang harus
dihadapi bidan Rosalinda Delin ketika kali pertama bertugas di Desa Jenilu pada
1999. “Awal saya berdinas, saya tidak mengira bahwa tradisi leluhur itu masih
ada,” kata Rosa saat mengikuti penjurian Srikandi Award di Jakarta (19/12).
Acara tersebut digagas Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Sari Husada.
Tidak mudah bagi Rosa menghadapi kenyataan tersebut.
Bahkan, wajar saja bidan kelahiran Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, 13 April
1972, itu, sampai shock.
Rosa berpikir bahwa warga setempat sudah tidak lagi
meneruskan tradisi panggang api. Tetapi, dugaannya salah. Pascareferendum yang
berujung lepasnya Timor Leste dari Indonesia, banyak warga Timor Leste yang
masuk NTT. Nah, mereka itulah yang meneruskan tradisi tersebut.
Rosa bertekad melawan tradisi itu. Belum genap sebulan
bekerja, dia mengumpulkan kepala desa, camat, kepala suku, hingga sesepuh adat.
“Dalam pertemuan itu, saya langsung bilang bahwa upacara panggang api harus
dihentikan,” tegasnya. Respons yang dia dapat positif. Para tokoh warga itu
siap membantu Rosa untuk menyadarkan masyarakat setempat.
Menurut Rosa, upacara panggang api sangat berisiko
pada kesehatan ibu dan bayi. Mereka bisa terserang anemia (kurang darah) dan
pneumonia (radang paru-paru). Perjuangan Rosa tidak mudah. Pendapatnya
ditentang pemangku adat setempat. Dia ditantang untuk membuktikan analisis
tersebut.
Rosa pun memutar otak. Dia akhirnya menemukan media
sosialisasi yang murah dan mudah didapat: ikan! Rosa membelinya di pasar
setempat. Setelah ditusuk dengan kayu, ikan itu dipanggang di atas bara api
yang terus mengeluarkan kepulan asap. Sejurus kemudian, ikan tersebut kering,
matang, dan siap dimakan.
Itu adalah perumpamaan dari tradisi panggang api. Dari
praktik memanggang ikan tersebut, Rosa mengatakan, jika terus dipanggang di
atas bara api, ikan akan kehilangan cairan dan mengering. “Begitu pula manusia.
Bisa kering karena kehilangan cairan jika dipanggang,” jelasnya. Mendengar
paparan Rosa, warga pun manggut-manggut.
Rosa mengatakan, masih kuatnya tradisi panggang api
tak lepas dari tingkat pendidikan warga yang rendah. Mayoritas adalah tamatan
SD. Sebagian besar ibu hamil malah tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
Rosa mengakui, ada hal positif dari upacara panggang
api. Yaitu, membuat ibu dan bayi hangat. Sebagai gantinya, Rosa mengenalkan
selimut untuk menghangatkan tubuh ibu dan bayi.
Perlahan tetapi pasti, kerja keras Rosa membuahkan
hasil. Dalam kurun waktu enam bulan, dia berhasil menyadarkan masyarakat untuk
mulai meninggalkan tradisi panggang api.
Atas prestasi itu, Rosa dipromosikan menjadi bidan
kecamatan pada 2006. Empat tahun kemudian, dia menyabet penghargaan bidan
teladan tingkat Provinsi NTT.
Lain lagi cerita bidan Meiriyastuti yang bertugas di
Desa Teriti, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Tidak ada tradisi panggang
api di sana. Yang ada adalah tradisi nyebur ke ayek. Yakni, ritual memandikan
bayi di Sungai Batanghari. Tidak tanggung-tanggung, tradisi itu harus dilakukan
selama 40 hari sejak si bayi lahir.
Meiriyastuti menentang keras ritual tersebut. Semua
itu bertentangan dengan ilmu yang didapatnya saat mengambil pendidikan D-3
kebidanan. “Bayangkan risiko terjangkit kuman-kuman, bakteri, atau virus yang
ada di air,” ucap bidan kelahiran 29 Mei 1979 itu.
Ritual nyebur ke ayek melibatkan peran dukun bayi.
Dialah yang membawa bayi ke sungai dan memandikannya. Selain membawa bunga
tujuh rupa, si dukun membaca mantra-mantra tertentu.
Warga setempat percaya, setelah dimandikan di sungai
selama 30 sampai 45 menit, bayi akan kuat. Selain itu, konon bayi yang sudah
dimandikan penuh selama 40 hari bakal selamat ketika mengarungi Sungai
Batanghari saat dewasa.
Selain itu, ibu yang baru melahirkan wajib menjalankan
tradisi unik. Yakni, hanya boleh makan nasi putih dan kecap asin. Tidak boleh
makan sayur, ikan, atau minum susu.
Menghapus tradisi leluhur tersebut menjadi tugas berat
bagi Meiriyastuti. Dia pun melakukan sosialisasi lewat berbagai forum.
Misalnya, rapat desa maupun acara pengajian. “Risiko yang paling tinggi adalah
bayi mengalami hipotermia atau kedinginan,” terang dia.
Di awal perjuangannya, Meiriyastuti mendapat banyak
protes dari para dukun bayi setempat. Bahkan, ada seorang dukun bayi yang
secara terang-terangan menghardik Meiriyastuti di tengah forum pengajian.
Hal itu tak membuat Meiriyastuti keder. Setelah
Meiriyastuti berhasil meluluhkan hati masyarakat, dukun yang kuat menggenggam
tradisi lokal itu justru lengket ke Meiriyastuti.
Perjuangan Meiriyastuti sungguh panjang dan
melelahkan. Dia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk membuat warga
benar-benar sadar akan bahaya tradisi nyebur ke ayek. Sejak bertugas di Desa
Teriti pada 2000, kerja keras Meiriyastuti baru terasa tahun ini. “Sekarang
masih ada satu?dua orang yang tetap menjalankan tradisi itu,” ucapnya.
Dia tidak bisa menghilangkan 100 persen upacara nyebur
ke ayek. Yang dia lakukan adalah memodifikasi. Saat ini warga sudah tidak lagi
memandikan bayi mereka di sungai. Sebagai gantinya, mereka memandikan bayi di
dalam ember plastik di halaman rumah. Air yang digunakan juga tidak sedingin
air sungai.
Solusi itu juga diterima kalangan dukun bayi. Toh,
mereka tidak perlu berjalan ratusan meter untuk memandikan bayi di Sungai
Batanghari.
Namun itu saja tidak cukup. Meiriyastuti terus
mempererat hubungan dengan para dukun bayi. Tujuannya, para dukun tersebut bisa
sadar dan dengan sukarela melepaskan tugas sebagai pembantu utama dalam proses
persalinan. “Jika ditangani dukun, bayi rentan terkena tetanus,” katanya.
Meiriyastuti memperkenalkan pola kemitraan bidan-dukun
dengan sharing penghasilan. Dia mengatakan, tarif persalinan yang ditentukannya
Rp 300 ribu. Nah, dari nominal tersebut, dukun bayi memperoleh Rp 30 ribu
sampai Rp 50 ribu.
Siapa sangka, hal itu sudah membuat para dukun bayi
bungah. Sekarang, setiap dimintai tolong untuk persalinan, dukun bayi justru
membawa perempuan yang hendak melahirkan atau melapor ke Meiriyastuti. Para
dukun sekarang hanya bertugas mencuci pakaian atau memijat kaki ibu saat
melahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar