Dalam salah satu diskusi beberapa bidan praktek mandiri maupun yang bekerja di beberapa rumah sakit di Surabaya, diangkat topik pentingnya pernyataan tertulis tentang persetujuan tindakan dan penolakan tindakan pelayanan kebidanan oleh pasien pada Sabtu lalu (3/3/2012). Ada satu hal menarik. Sebagai contoh adalah keluhan pasien maupun keluarga tentang tanda tangan pernyataan persetujuan maupun penolakan tindakan pelayanan kesehatan:
"Bidan sekarang gocik - gocik ( penakut ) sering merujuk pasien, tidak seperti dulu kendel - kendel ( pemberani ). Sedikit- sedikit minta teken ( tanda tangan persetujuan ), teken ini itu, ribet jadinya. Saya mau KB saja harus teken. Jaman mertua saya dulu katanya kog tidak seperti ini ya? Wes pokoke pasien pasrah bongkokan ( nurut apa maunya terserah deh ) sama bu Bidan.
Sementara itu, pada kondisi lain di mana kasus gawat darurat yang membahayakan keselamatan bayi masih ditemukan keadaan berikut meskipun sudah ada Jampersal, terutama di rumah sakit Swasta: " Tunggu keluarga dulu bu Bidan, suami saya sedang rembugan dengan keluarganya " Atau dalam situasi yang lebih sulit lagi dimana sebenarnya ada harapan hidup dan sehat, lalu menjadi terabaikan. Contoh kasus bayi yang mengalami masalah misalnya kuning 24 jam pertama setelah lahir. Kasus kuning ini seharusnya perlu segera dirujuk ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Saat di beri penjelasan panjang lebar akibatnya bila bayi kuning tidak dirujuk dan tidk mendapat terapi sinar, pasien ada yang menolak. " Kami bawa pulang saja bu Bidan, mau jemur matahari saja " Si pasien tetap bersikukuh menolak dirawat maupun dirujuk.